Siaran Pers |
Laju inflasi tahunan di Indonesia mencapai 4,94% di bulan Juli 2022, lebih tinggi dari bulan sebelumnya (4,35% di Juni) dan merupakan inflasi tertinggi sejak Oktober 2015. Kenaikan laju inflasi berpotensi berdampak negatif pada kinerja sektor asuransi, baik dari kinerja underwriting, maupun dari kinerja investasinya.
Dari perspektif ekonomi makro, kenaikan inflasi, terutama pada bahan pangan, energi dan transportasi, berdampak langsung terhadap daya beli dan permintaan dari konsumen, yang tentunya berdampak pada penjualan dan keuntungan sektor industri. Kenaikan inflasi yang persisten juga berdampak pada sentimen konsumen dan produsen, yang dapat berdampak pada konsumsi dan produktivitas/investasi yang berkelanjutan. Pada akhirnya, pertumbuhan PDB domestik suatu negara biasanya akan lebih lemah dari ekspektasi semula.
Dalam kondisi di atas dimana terjadi kenaikan berbagai risiko ekonomi (economic risks), studi IFG Progress menemukan klaim yang harus dibayarkan sektor asuransi biasanya mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada waktu bersamaan, disaat pelemahan dari aktivitas ekonomi terjadi, premi yang diterima sektor asuransi juga mengalami penurunan. Alhasil, kinerja underwriting memburuk, dan bisa berpotensi terjadi kerugian dari aktivitas underwriting.
Sebagai contoh konkret, pada saat risiko naik dan kinerja ekonomi memburuk, kualitas dari kredit perbankan biasanya menurun. Indikator loan at risk (atau resiko kredit perbankan menjadi bermasalah) mengalami tren kenaikan yang cukup signifikan. Studi IFG Progress menemukan bagaimana periode dimana loan at risk di sektor perbankan naik, sektor asuransi mengalami kenaikan klaim di bisnis asuransi kreditnya. Sekitar 16% dari total premi bisnis asuransi umum di Indonesia berasal dari premi asuransi kredit pada tahun 2020.
Kenaikan laju inflasi yang lebih tinggi dari ekspektasi awal juga berpotensi negatif terhadap kinerja portofolio investasi sektor asuransi. Berdasarkan salah satu POJK di 2016, perusahaan asuransi diwajibkan untuk investasi ke SBN (Surat Berharga Negara) sebanyak 20-30%. Pada saat terjadi kenaikan inflasi yang cukup tinggi (dan apalagi persisten), pasar akan menuntut yield/atau bunga dari SBN yang lebih tinggi. Pada saat bersamaan karena faktor risiko, harga dari surat obligasi (SBN) di pasar akan melemah/jatuh (atau terjadi koreksi). Akibatnya, nilai nominal dari portofolio investasi di aset SBN akan mengalami penurunan.
Inflasi juga dapat berdampak negatif terhadap portofolio investasi aset ekuitas. Dengan melemahnya permintaan dan produktivitas akibat dari laju inflasi yang tinggi, kinerja korporasi akan terganggu dan biasanya dapat dilihat dari turunnya harga saham perusahaan/korporasi tersebut di pasar modal. Jatuhnya harga saham secara umum berpengaruh negatif terhadap hasil portofolio investasi perusahaan asuransi. Di tahun 2020, sekitar 40% dari portofolio investasi perusahaan asuransi jiwa dengan total aset diatas 25 triliun rupiah dalam bentuk investasi ekuitas/saham di pasar modal.
Kerugian atau pelemahan dari kinerja underwriting dan investasi pada akhirnya akan berdampak terhadap turunnya total aset nominal dan ekuitas bersih perusahaan asuransi. Seiring dengan jatuhnya ekuitas bersih, tingkat solvabilitas dari perusahaan asuransi tersebut akan turun dan pada akhirnya akan menurunkan posisi RBC (Risk Based Capital) nya. OJK mewajibkan perusahaan asuransi untuk menjaga RBC tidak kurang dari level 120%.
Sebagai kesimpulan, kenaikan laju inflasi yang terjadi, baik di pasar global maupun domestik, harus disikapi secara hati-hati oleh perusahaan asuransi domestik. Kenaikan inflasi berdampak terhadap kenaikan berbagai faktor risiko ekonomi yang berpotensi naiknya beban underwriting (terlihat pada klaim yang naik) dan tekanan terhadap kinerja investasi. Oleh karena itu, penilaian harga premi yang berdasarkan perhitungan risiko yang akurat menjadi penting. Pemilihan lini industri bisnis sangat menentukan keberhasilan underwriting dan investasi.